Hakikat Pendidikan Agama Buddha Menurut Para Ahli
Hakikat Pendidikan
Agama Buddha Menurut Para Ahli. Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang pada pasal 3 menegaskan bahwa
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis sera
bertanggung jawab (Samani dan Hariyanto, 2012: 26).
Pendidikan terkait dengan nilai-nilai, mendidik berarti
memberikan, menanamkan, dan menumbuhkan nila-nilai pada siswa. Pendidikan
berfungsi membantu siswa dalam penegembangan dirinya, yaitu pengembangan semua
potensi, kecakapan, serta karakteristik pribadinya kearah yang positif, baik
bagi dirinya maupun lingkungannya. Proses pendidikan terarah pada peningkatan
penguasaan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, pengembangan sikap dan
nilai-nilai dalam rangka pembentukan dan pengembangan diri siswa (Sukmadinata, 2001: 3).
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, mengemukakan bahwa
Pendidikan adalah upaya sadar dan terencana dalam proses pembimbingan dan
pembelajaran bagi individu agar tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang
mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu, sehat, dan berakhlak (karakter)
mulia.
Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama Dan Pendidikan Keagamaan Buddha bagian pertama pasal 1 ayat 1, menegaskan
bahwa Pendidikan Agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan
membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan
ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah
pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Ki Hajar Dewantara memberi definisi pendidikan sebagai
tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya pendidikan menuntun
segala kekuatan pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan anggota
masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya
(Kadir, 2012: 62). Pendidikan menuntun anak-anak agar menjadi manusia dan
masyarakat yang mencapai keselamatan serta kebahagiaan dalam hidupnya. Dengan
pendidikan seseorang anak mendapatkan bimbingan yang diberikan oleh orang
dewasa untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain. Pendidikan
menciptakan seseorang yang berkualitas dan berkarakter sehingga memiliki
pengetahuan yang luas untuk mencapai cita-cita yang diharapkan, serta mampu
beradaptasi secara tepat di dalam berbagai lingkungan. Karena pendidikan itu
sendiri yang memotivasi diri untuk lebih baik dalam segala aspek kehidupan.
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas),
Pendidikan Agama Buddha bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia yang utuh,
berketuhanan, susila, dan bijaksana, yaitu manusia yang bisa menghayati hakikat
kehidupan yang penuh dengan tantangan dan ketidakpuasan. Dalam pendidikan agama
Buddha, pendidikan diartikan suatu hal yang dilatih untuk menghasilkan
kebiasaan-kebiasaan baik yang dilakukan sesuai dengan ajaran agama Buddha.
Dalam melaksanakan pendidikan pasti memiliki tujuan, baik tujuan dalam menjalankan
hidup maupun tujuan dari pendidikan agama Buddha itu sendiri.
Pendidikan berasal dari istilah latihan (sikkha), tersirat
bahwa pendidikan merupakan proses belajar, latihan pelajaran, mempelajari,
mengembangkan, dan pencapaian penerangan. Pada istilah ini termasuk juga
disiplin moral (silā), konsentrasi (samādhi), dan kebijaksanaan (pañña) yang
dilaksanakan untuk mengikis keserakahan, kebencian ,dan kebodohan batin
sehingga dapat mencapai nibbāna (Morris, 1999: 231). Disiplin moral dilakukan
terus menerus dengan perhatian pendidikan sebagai sifat fungsional dari
latihan, praktik, dan kemajuan setahap demi setahap.
Selama empat puluh lima tahun Sang Buddha membabarkan jalan
pembebasan. Sang Buddha dikenal sebagi guru para dewa dan manusia “satthā devamanussānaṁ”
(Dhammadhiro, 2005: 27) dan pembimbing manusia. Disiplin moral (silā), meditasi
(samādhi), kebijaksanaan (pañña) yang dicapai berdasarkan realisasi keadaan
sebenarnya dari kehidupan yang merupakan dasar dan jalan yang diajarkan Buddha.
Hal ini menunjukkan Sang Buddha menganjurkan agar manusia belajar seumur hidup,
meditasi, dan mengendalikan pikiran. Semuanya adalah latihan untuk mencapai
tujuan pendidikan.
Landasan filosofi pendidikan agama Buddha dapat dilihat
rumusan empat kebenaran mulia (cattāri ariya saccāni), yaitu mengidentifikasi
adanya dukkha, sebab dukkha, terhentinya dukkha, dan jalan menuju terhentinya
dukkha (Kemendikbud, 2014: 109). Dari rumusan ini Sang Buddha memberikan
petunjuk bagaimana sebaiknya mengatasi masalah secara sistematis. Mengatasi
masalah secara sistematis menunjukkan ada suatu nilai pendidikan yaitu dari
mengidentifikasi adanya penderitaan, asal penderitaan, terhentinya penderitaan
dapat dihasilkan pengalaman mengatasi penderitaan. Pengalaman mengatasi
penderitaan ini, bisa diartikan sebagai ilmu atau pengalaman baru dari proses
pembelajaran mengatasi penderitaan.
Pendidikan agama Buddha pada dasarnya bersifat terbuka dan
tidak ada yang disembunyikan. Terbuka yang dimaksud seperti penjelasan dhamma
atau ajaran Buddha mengudang untuk dibuktikan yang diistilahkan ehipasiko, artinya datang, lihat, dan buktikan (Hardy,
1994: 285). Penjelasan itu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada
pengakajian, pemahaman yang rasional, dan pengalaman empiris dari semua ajaran
Buddha.
Pendidikan agama Buddha juga memiliki tujuan untuk
mencerdaskan dan membentuk siswa menjadi pribadi yang bermoral sesuai dengan
norma-norma yang berlaku baik dari segi perbuatan, ucapan, dan pikiran. Dalam
Dhammapada BAB XXI Pakinnaka, syair 281 (Norman, 2004: 42) Sang Buddha bersabda
“...Guarding one’s speech, well restrained in mind and body, one should not do
evil. Purifying these paths of action, one would attain the path taught by the
sages...”. Artinya hendaklah ia menjaga ucapan, dan mengendalikan pikiran
dengan baik serta tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani. Hendaklah ia
memurnikan tiga saluran perbuatan ini, memenangkan jalan yang telah dibabarkan
oleh para suci.
Berdasarkan sabda Buddha di atas disampaikan bahwa untuk
mencapai jalan pembebasan, seseorang harus menjaga ucapan, mengendalikan
pikiran dari hal-hal buruk, dan tidak melakukan perbuatan jahat melalui
jasmani. Oleh karena itu, sebagai umat Buddha sangat penting untuk mempelajari
ajaran Sang Buddha melalui pendidikan agama Buddha di sekolah agar bisa
mengenal dan memahami ajaran Sang Buddha. Dengan demikian dapat mengerti mana
yang harus dilakukan dan yang tidak dilakukan baik melalui ucapan, pikiran, dan
badan jasmani.
Pendidikan Agama Buddha juga dimaksudkan untuk membentuk
siswa menjadi manusia yang beriman, berakhlak mulia, dan meningkatkan potensi
spiritual. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan
penanaman nilai-nilai keagamaan serta penerapan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Pendidikan agama Buddha sangat penting karena selain
memberikan pengtahuan tentang agama Buddha kepada siswa secara teoritis, juga
sebagai sarana untuk menanamkan sifat-sifat baik pada diri siswa melalui
pelajaran tentang moralitas Buddhis yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Comments
Post a Comment
Dengan hormat,
Mohon berkomentar sesuai dengan topik artikel
Komentar berbau iseng semata tidak akan di publikasikan
Terima kasih