Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dalam Agama Buddha

Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dalam Agama Buddha. Pendekatan pembelajaran berbasis kontekstual dalam agama Buddha telah diterapkan sejak kehidupan Sang Buddha. Ajaran-ajaran yang diajarkan Sang Buddha kepada siswanya selalu dikaitkan dengan pengalaman yang telah dimiliki oleh siswanya. Dalam Udana III ayat 2, diceritakan:
Sang Buddha memegang tangannya, dengan kekuatan batin beliau membawanya ke alam dewa Tavatimsa. Dalam perjalanaan, Sang Buddha menunjukkan hutan yang terbakar kepada Nanda dimana seekor kera rakus sedang duduk di atas dahan yang sedang terbakar, telinga, hidung, serta ekornya telah terbakar pula. Ketika sampai di surga Tavatimsa, Sang Buddha menunjukkan 500 bidadari cantik yang melayani Dewa Sakka, dan Sang Buddha bertanya manakah yang lebih cantik bidadari atau isterinya Janapada Kalyani?
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dalam Agama Buddha
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dalam Agama Buddha
Dari cerita di atas, Buddha memberikan pelajaran kepada Nanda dengan memperlihatkan keadaan di neraka dan keadaan di surga dengan tujuan untuk memberikan pengalaman secara langsung, tetapi bukan memberikan iming-iming. Hal ini dilakukan agar Nanda dapat lebih mudah memahami dan mengerti arti sesungguhnya ajaran yang diberikan kepadanya dan dapat mengambil makna dari apa yang telah diajarkan Sang Buddha. Sang Buddha juga melihat karakter masing-masing siswanya dalam menyampaikan ajarannya. Hal ini dilakukan oleh Sang Buddha dengan kemampuan patisambidhā (Panjika, 2004: 148), agar dapat memberikan ajarannya sesuai dengan karakter siswa masing-masing, sehingga bisa diterima dan dipahami dengan baik.

Sistem CTL menurut Johnson dalam Taniredja (2012: 49) merupakan proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks kehidupan sehari-hari yaitu dengan kontek keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka. Sistem ini memiliki delapan komponen yaitu membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerjasama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian otentik.

Dalam Dhammapada Atthakatha Sang Buddha menjelaskan, “...meskipun seseorang banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai ajaran, maka oang yang lengah itu sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain, ia tidak akan memperoleh manfaat kehidupan suci...” (Aggabalo, 2007: 227). Berdasarkan sabda Sang Buddha tersebut dapat diartikan bahwa belajar tidak hanya mengetahui, menghafal, dan mengingat materi yang telah diberikan guru tetapi juga harus mempraktikan atau mengalami secara langsung sehingga dapat mencapai pembebasan. Demikian pula dengan siswa dalam belajar tidak hanya menerima materi pembelajaran dari guru saja, tetapi juga harus mempraktikkan dan menerapkannya sehingga mampu berpikir kritis dan dapat memahami materi pembelajaran. Dengan mempraktikkan materi yang didapat dengan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari maka akan membuat siswa mampu mengingat yang telah dipelajari dan tidak mudah lupa. Oleh karena itu, agar materi pelajaran dapat diterima dan dipahami oleh siswa, maka perlu  untuk mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Comments

Popular posts from this blog

Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Project Based Learning Menurut Para Ahli

Komponen Kurikulum Menurut Para Ahli

Pengertian Pendekatan Belajar MODERAT (Modification Of Reciprocal Teaching) Menurut Para Ahli